Monday, September 19, 2011

Ketika Giliranku Menjadi Orangtua Tiba

“Hari hari berlalu, tak terasa lama sudah aku hidup di dunia ini. Rasanya baru kemarin aku berusia kanak2, menyaksikan dengan perasaan iri ibuku menyusui adik bungsuku, merasakan belaian tangan ibu di rambutku ketika aku ‘belagak’ sakit (hanya dengan cara itu ibu punya waktu untuk memberikan perhatian khusus, di tengah kesibukan membesarkan tujuh orang anak kandung dan anak2 ‘pungut’ lain yang tinggal bersama kami). Aku ingat tinggal di dua rumah kontrakan, terus akhirnya kami membangun rumah sendiri, yang sampai sekarang masih ditempati adikku. Rumah yang penuh kenang2an masa kecilku, karena aku sudah berusia 7-8 tahun ketika akhirnya kami semua tinggal di perumahan dosen yang hanya berjarak satu sampai dua kilo dari pusat kota. Aku masih ingat detil-detil cara ibu membesarkan kami, yang telah kushare pada Anda semua pada tulisanku sebelum ini.

Dan tet tet, bayangan masa lalu itu lenyap, digantikan masa sekarang, saat ini, ketika aku menjadi seorang ibu dengan dua anak yang masih sangat kecil-kecil, di usia yang sudah lebih dari matang. Dan tahukah kamu, kawan? Di masa mudaku yang penuh antisipati, aku sudah bersiap2 dengan dua kemungkinan: aku bisa punya anak atau tidak. Karena itu kan mungkin saja terjadi pada semua orang: Allah swt memberi mereka keturunan atau tidak. Dalam tahun2 terakhir setelah usiaku lewat 30 tahun, aku telah mempersiapkan diri jika Allah berkehendak tidak memberiku keturunan, aku akan mengambil banyak tindakan: mengangkat beberapa orang anak, melakukan ini itu…Tapi Allah swt ternyata masih mempercayaiku dan mengamanahkan dua orang bocah lucu dan keduanya lelaki. Tak ada kata yang mampu mengungkapkan rasa syukurku atas segala kebahagiaan itu. Pernah makan tebu? Jika diumpamakan makan tebu, aku telah memakan tebu dari ujung batang yang awalnya tawar, tak berasa apa2. Tapi berturut2 setelahnya, rasa manis itu kurasakan juga, semakin lama semakin lengkap rasanya.

Sejak anakku menduduki bangku Play Group, mulailah aku mencari berbagai info yang berkaitan dengan pendidikan anak. Tapi aku adalah satu dari sekian orang yang setuju, bahwa masa kanak2 tak harus diisi dengan hal2 berbau akademis, jika si anak tak menghendaki. Maka ketika orangtua lain sibuk mengkursuskan anak ini itu: membaca, menulis, kumon, dst, anakku hanya kumasukkan ke playgroup biasa2 saja, TK yang tak terlalu menekankan kepada hal2 berbau akademis…Namun aku termangu heran, ketika mengikuti rapat guru di sekolah barunya, di Madrasah Ibtidaiyah Plus di suatu daerah di Cipondoh….Di samping bahan pelajaran setinggi bintang kejora, mereka ternyata sudah menganggap bahwa anak sudah bisa membaca, menulis dengan lancar, tidak hanya dalam huruf latin, namun termasuk huruf arab!…Aku hanya bisa mengurut dada. Untuk melancarkan protes pun terasa percuma, karena kulihat orang2 tua yang ikut dalam rapat pertama walikelas dengan kami para orangtua, kelihatannya anteng2 saja. Mereka kelihatan santai dan bangga, anak2nya sudah mampu membaca, berhitung, menulis latin dan arab, membaca Al Qur’an (bukan hanya Iqra!)…..Dalam posisi ini, satu2nya kesempatanku dan anakku hanyalah mencari seorang guru untuk memberinya kursus agar tak terlalu complang dengan keadaan teman2nya. Separuh dari diriku mencelos sedalam 7000 m di bawah kedalaman laut, memikirkan anakku yang masih 6 tahun harus sekolah sepanjang hari tanpa henti, ditambah kursus2, paling tidak kursus menulis dan iqra, selain kumon yg akhir2 ini sudah dia jalani….Antara kasihan, prihatin, pedih…jauh dari perasaan antusias untuk memberikan beban sebegitu besar pada anakku. Di antara beban2 perasaan yang kurasakan itu, masih banyak masalah tetek bengek sekolah yang harus kuselesaikan, dan barangkali sudah jadi nasib, akupun diminta menjadi ketua pengurus di kelas satu, kelas anakku S.

Tadinya kupikir, dengan memasukkan anak ke Madrasah Ibtidaiyah, anakku ‘cuma’ akan belajar dari pukul 7 pagi (berangkat dari rumah sekitar pukul 05.30 tiap pagi karena ikut jemputan) sampai dengan pukul 14.30 (tiba di rumah jam 15.30), setelah itu anakku bisa istirahat, tidak usah ke TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an), dan sorenya bisa ikut les kumon dari jam 16.00 s/d 18.00 an, sehingga magrib anak sudah standby belajar di rumah untuk esok hari. Tapi ternyata setelah ikut rapat pertama dengan guru wali kelasnya, anak tetap diminta untuk ikut TPA malam. Kataku dalam hati, “Waduh, yang bener aja bu guru, mau didik anak apa bunuh anak? Sekecil itu udah segitu padatnya? Sebagai solusi, aku minta gurunya untuk memberi paling minimal les menulis (sebenarnya latihan aja, karena menulis toh harus latihan, tapi aku ga punya waktu), dan mengulang pelajaran Iqra nya yang kelihatannya tak begitu disukainya. Memang sulit rasanya, udah dari umur tiga tahun belajar Iqra, anakku bukannya kelihatan bisa, malah lebih ke arah bosan. Aku bertanya2 dalam hati, apa yang salah? Apa karena terlalu dini dikenalkan dengan huruf hijaiyah sehingga dia malah bosan, apa gurunya membosankan? Kalau soal guru, aku rasa ga masalah, karena guru di TPA anakku terlihat baik, sabar dan penuh perhatian. Tapi entahlah, mungkin memang dia tak berbakat..Itu kesimpulan cepat yang bisa kuambil, khas ibu-ibu yang pasrah dan putus asa (*mau apa lagi?).

Saat ini, minggu kedua anakku bersekolah, masih separuh hari. Tapi yang keteteran mengatur jadwal bukan anakku, tapi aku. Aku harus buru2 pulang kantor dan memaksakan diri mengecek segala pernak pernik yang masih harus dipersiapkan anakku untuk dikumpulkan sekolah. Berburu kaos kaki, sandal sholat, sampul buku, buku Iqra baru untuk di sekolah, menyampul buku2 dan memberi nama yang terasa tak ada habisnya, menunggu anakku yang ‘kupaksa’ belajar dengan ditingkahi gangguan dari adiknya, si bocah tiga tahun yang mestinya lucu tapi terasa sangat mengganggu sewaktu aku harus mengajar si abang. Itupun diselingi dengan sms2 dan telpon2 yang tak kenal waktu dari para orangtua yang menanyakan ini itu, waduh2 dech rasanya. Hari Minggu lalu, aku terpaksa ‘absen’ dari arisan keluarga yang diadakan 2 bulan sekali, karena aku harus mempersiapkan segala keperluan anakku. Banyak kegiatan yang harus kubatalkan demi kepentingan anakku. Aku mencoba mengingat2 dulu, waktu aku kecil, rasanya ibuku ga serepot ini. Rasanya aku ga pernah ditunggui belajar oleh ayah atau ibu….Tapi mungkin itu karena aku punya kakak2 yang bisa kutiru…

Alhasil, aku agak kelimpungan membagi waktu, memikirkan pelajaran yang harus dikuasai anakku, memikirkan soal kesehatannya, memikirkan jemputannya, memikirkan gurunya, memikirkan bekal makanannya, memikirkan pengasuh anakku yang sebentar lagi juga mau berhenti dan kami harus mencari pengasuh baru, memikirkan banyak hal……Bukan hanya aku, suamiku pun kelihatannya mengalami hal yang sama. Hanya pada Allah swt kami memohon ketenangan pikiran dan kesabaran menghadapi semua ini.
Dan ini juga merupakan jawaban dari pertanyaanku. Dulunya aku sering bertanya-tanya, kenapa teman2ku kelihatannya sibuuuuk banget dengan anak2nya, padahal menurutku waktu itu, ga akan perlu segitunya menyikapi masalah sekolah anak. Tapi sekarang, telah tiba giliranku untuk merasakan hal yang sama…Uuuuuh, baru berasa ya, kliyengnya seperti apa.
Anyway, fase selanjutnya dari kehidupan rumah tangga kami ternyata sudah mulai datang. Pagi ini aku melangkah pelan keluar rumah, dan pada angin pagi yang bertiup pelan, dalam hati kubisikkan : “Selamat Datang di Dunia Penuh Tantangan”
»»  READMORE...

Friday, September 16, 2011

Hari Biasa, Kisah Biasa…

Hari ini, aku sedang mencari inspirasi untuk menulis sesuatu yang berguna di blogku ini. Tapi aku sedang tak terinspirasi oleh apa pun, kemungkinan karena kelelahan berkepanjangan yang kualami sejak lebaran menjelang, dan hidupku benar2 tersita untuk bekerja baik di rumah,   di kantor, kunjungan ke sana kemari untuk acara sosial, juga tugasku mengajar.  Hidup terasa istimewa sebenarnya, tapi keletihan ini membuatku tak bisa memikirkan satu topik yang layak untuk ditulis. Sebenarnya mungkin karena tak ada sesuatu yang mengejutkan terjadi, seperti goncangan2 pemikiran atau realitas. Padahal, seorang penulis itu biasanya memerlukan ‘goncangan’ hidup yang dapat memberinya inspirasi untuk menulis sesuatu. Jika hidup dapat ditangani dengan baik, dan segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan baik pula, maka tak ada sesuatu yang bisa ditulis. Setidaknya itu yang kualami selama ini…
Setelah kupikir2, mungkin itu sebabnya para artis, baik itu pencipta lagu, pencipta nada2 indah (seperti Bethoven, dkk), para pelukis, pemahat, bahkan pengarang hebat ala Shakespeare mengalami kisah hidup yang maha hebat. Banyak diantara seniman2 jenius tersebut menjalani hidup yang tragis, bahkan mati muda dalam keadaan melarat, putus asa, dan akhirnya bunuh diri. Jadi, apakah untuk menciptakan karya2 yang monumental (masterpiece) seperti mereka, orang2 biasa kaya kita2 ini juga harus mengalami hidup yang sedemikian bergolaknya? Entahlah, aku sendiri ga kepingin mengalami hidup dengan cara yang kuanggap ‘mengerikan’ tersebut, apalagi akhir tragis seperti yang dialami mereka yang karya2nya abadi, yang saat ini masih dapat kita nimati.
Ada lagi sisi gelap para seniman hebat yang pada umumnya terjadi. Mereka itu kebanyakan ‘berkepribadian ganda’. Artinya, apa yang mereka tulis, belum tentu terjadi dalam kehidupan mereka. Jadi mereka menulis, bisa jadi untuk melemparkan ide2 saja. Bisa jadi untuk berkeluh kesah pada dunia yang maha kejam dan tak adil pada mereka. Bisa juga untuk melepaskan segala beban pikiran dan kepenatan hidup dalam bentuk karya cipta. Atau paling buruk, sekedar profesi, mesin pencari uang. Padahal di kehidupan nyata bisa jadi mereka itu orang2 yang ‘dingin’ dan anti sosial. Atau malah kejam. Dulu kami sering berkelakar antar sesama sewaktu kami masih remaja, “Jangan pacaran/nikah sama artis/seniman/pengarang, karena semua romantisme yang mereka ciptakan dalam lakon2 ciptaan mereka itu hanya fatamorgana.”  Buktinya setelah TV dan media massa lainnya dengan bebas ‘mengeruk’ cerita dari ribuan selebriti di seluruh dunia, kelakaran itu terbukti. Demi Moore dan Bruce Wills yang film2nya luar biasa idealis dan romantis, atau Madonna si Ratu Pop dan mengeluarkan album2 romantis, atau artis2 negeri sendiri, pengarang2 lokal, serta para seniman lainnya, ternyata pada umumnya mengalami kisah hidup yang begitu ‘berbeda’, kadang nyaris berlawanan, seakan2 mereka itu makhluk2 ‘berkepribadian ganda’. Gimana ga, seorang penceramah misalnya, memberikan ceramah ke sana kemari tentang hal yang baik2 dan menginspirasi oranglain atau seorang penulis yang rajin menulis tentang agama, tapi dalam kehidupn sehari2 berbuat sebaliknya. Jadi sama dengan artis aja, yang kemarin memerankan tokoh religius yang sangat alim di sinetron Ramadhan, besok lusa muncul berita di koran tentang kehidupan pribadinya yang jauh dari agama, misalnya. (*Ssst, kalo artis film or sinetron mah, kita maklum ya…mungkin itu mang tuntutan peran…hehehehe) Weleh, weleh…bisanya ya, orang2 tersebut berbuat begitu. Jangankan sama Allah swt, sama manusia aja udah ga tau malu….
Jadi, sebenarnya bagaimana seharusnya kita ini? Yaaah, kalau menurutku sih, sebagai manusia kita itu semestinya mencoba untuk konsisten dalam berkarya dan dalam kehidupan nyata. Apapun profesi kita, sebaiknya kita jangan bersifat dan bersikap munafik dan bermuka dua. Ga apa2 lah ga menulis atau menciptakan suatu karya, ketimbang kita bersifat munafik dan malahan tak bisa mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Tapi memang yang terbaik, berkaryalah dan buat karya itu mengubah hidup kita. Kalau kita suka menulis misalnya, tulis sesuatu yang berguna, yang dapat memotivasi oranglain, atau diri kita sendiri untuk menjadi lebih baik…. Itu kan yang penting?
»»  READMORE...